budak angon menurut prabu siliwangi

Guaranngeunaan Budak Angon jeung Budak Janggotan Dina Uga Wangsit Siliwangi. Wujud Budak Angon , ram é dit é angan jeung MenyingkapRatu Adil/Satria Piningit/Imam Mahdi/Budak Angon dan Pemuda berjanggut kita harus mengetahui dulu sosok Sabdo Palon. Untuk mengetahui Sabdo Palon sejenak Kita akan membahas Grojogan Sewu terlebih dahulu. Benarlah menurut Prabu Siliwangi dalam petikan uga nya "Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar Kalaukata pepatah "Saguru Saelmu Ulah Nganganggu" apalagi beliau anak dan ayah mana mungkin berseteru, sudah se-ilmu, seguru, sekeluarga. Benarlah menurut Prabu Siliwangi dalam petikan uga nya "Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. 3 Hindari Makanan Bernyawa. Salah satu pantangan yang harus dihindari ini mirip dengan Pantangan Ajian Welut Putih yang fokus pada hewan bernyawa. Hindari makan seperti daging, ikan, telur dan lainnya. Proses ini membutuhkan waktu sebanyak 35 hari. 4. Melakukan Doa Pemanggil Khodam Ajian Macan putih. Baca mantra khodam macan putih setiap habis Selirsenior yang sangat cerewet ini juga kerap mengganggu jalannya musyawarah kerajaan Gambar tema oleh peterjseager 4 Bulan yang lalu - Kisah Raja Thailand yang membebaskan selir nya yang pernah dipenjarakannya lalu menempatkannya di hotel berbintang di Jerman Pasangan hutan bambu yaitu koki kerajaan dan dayang Choi diperankan oleh Kim Inkwon dan Cha Junghwa, sedangkan kisah cinta segitiga Vay Tiền Nhanh Chỉ Cần Cmnd. oleh Taufik Suhendar Uga Wangsit Siliwangi "Suatu saat nanti, apabila tengah malam terdengar suara pembawa panji, nah itu adalah tandanya."Sosok "Satria Piningit" memang masih misterius. Banyak sudah yang mencoba untuk menemukannya dengan caranya sendiri-sendiri. Alhasil, ada yang yakin telah menemukannya, bahkan juga ada yang mengaku dirinyalah si Satria Piningit tersebut. Apabila diteliti maka sosok yang telah ditemukan itu masih bisa diragukan apakah memang dia si calon Ratu Adil? Budak Angon atau "Penggembala" sesungguhnya merupakan konsepsi tentang kehidupan dan kemanusiaan. Dalam konteks diri manusia, Budak Angon merupakan konsep tentang penemuan jati diri dan pengendalian diri untuk apa sesungguhnya kita dicipta. Selain jasad kita yang sesungguhnya hanyalah "tunggangan" yang harus ditundukkan, dikendalikan, dan diarahkan melalui proses "penggembalaan", dalam diri kita juga terdapat kumpulan "sasatoan" yang tidak untuk dimatikan melainkan untuk digembalakan sehingga menjadi potensi dan energi positif bagi penemuan misi hidup kita. Dalam konteks kehidupan sesama, Budak Angon menjelaskan suatu upaya dan proses "penertiban", pembangunan kesadaran, serta pengarahan hubungan antarsesama yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Suatu tatanan kehidupan yang lebih berkeadilan. Dalam konteks sosok, pribadi-pribadi yang bekerja keras dalam upaya dan proses yang demikianlah disebut Budak Angon. Keragu-raguan yang muncul mendorong untuk menelaah dan mempelajari kembali apa yang telah diungkapkan dalam naskah-naskah leluhur mengenai sosok Satria Piningit sejati. Salah satu naskah yang biasa kita gunakan sebagai rujukan yaitu Uga Wangsit Siliwangi. Prabu Siliwangi dalam Uga Wangsitnya menyebut si calon Ratu Adil dengan sebutan Bocah Angon atau Pemuda Penggembala. Beberapa hal yang disebutkan dalam Uga Wangsit Siliwangi mengenai Bocah Angon yaitu 1. Suara minta tolong. Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara para pembawa panji, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné.” Kata “suara minta tolong” sepertinya sama dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 169 yaitu “senang menggoda dan minta secara nista, ketahuilah bahwa itu hanya ujian, jangan dihina, ada keuntungan bagi yang dimintai artinya dilindungi anda sekeluarga“. Bocah Angon di awal kemunculannya akan beraksi melakukan hal-hal sebagai pertanda kedatangannya. Salah satunya adalah meminta tolong kepada orang di sekitar daerah Gunung Halimun. Tidak jelas mengapa dia minta tolong kepada orang lain, apakah dia dalam kesulitan ataukah keperluan lainnya. Yang pasti bila telah terjadi hal demikian berarti itu pertanda akan dikaitkan dengan Ramalan Joyoboyo paba bait 169 disebutkan bila Bocah Angon tersebut “suka minta secara nista sebagai ujian”. Kalimat tersebut mengindikasikan bahwa minta tolong itu hanya sebatas ujian bagi yang dimintai pertolongan. Ujian apakah itu? belum diketahui ujian apa yang suka dilakukan Bocah Angon pada orang. Sebaiknya kita tunggu saja kejadiannya. 2. Mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala.” Kata terlanjur dilarang ini apa maksudnya? Apakah dilarang dalam mengungkap fakta-fakta, atau dilarang meluruskan sejarah? sepertinya masih butuh penafsiran lagi. Yang pasti Bocah Angon sepertinya tidak peduli dengan larangan pemimpin. Bahkan bukan hanya tidak peduli dengan larangan tersebut, tetapi lebih dari itu Bocah Angon melawan larangan si pemimpin itu sambil tertawa. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan si pemimpin bila dilawan sambil tertawa. Bisa-bisa Bocah Angon dalam situasi bahaya nih karena kerjanya selalu melawan sang pemimpin pengganti. Kata banyak yang ditemui sebagian-sebagian karena terlanjur dilarang pemimpin baru, menunjukkan bahwa yang akan ditemukan masyarakat memang hanya sebagian saja. Oleh karena sebagian saja maka yang ditemukan tersebut belumlah lengkap dan tentunya belum sempurna hasilnya. Tetapi tidak bagi Bocah Angon, dia terus saja mencari sambil melawan. Bisa jadi temuan si Bocah Angon ini kelak merupakan temuan yang paling lengkap dan mendekati kebenaran. 3. Dia gembalakan ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.” Bocah Angon memiliki kebiasaan mengumpulkan daun dan ranting. Kata daun dan ranting yang disebutkan Uga Wangsit Siliwangi dalam bahasa asli Sundanya yaitu “Kalakay jeung Tutunggul“. Kalakay merupakan daun lontar yang biasa digunakan oleh orang kita pada jaman dulu kala sebagai lembaran daun untuk menulis. Sementara Tutunggul merupakan ranting pohon yang biasa digunakan orang kita pada jaman dulu kala sebagai pena untuk menulis. Sehingga Kalakay dan Tutunggul bisa diartikan sebagai kertas dan pena. Si Bocah Angon ini memiliki kegemaran suka menggembalakan kertas dan pena. Dia terus mengumpulkan dan mengumpulkan kedua barang tersebut sebagai gembalaannya. Tidak jelas kenapa dia suka menggembalakan kertas dan pena. Kata mengumpulkan itu berarti kertas dan pena tersebut tidak hanya 1 buah, tetapi jumlahnya banyak dan itu menjadi barang kegemarannya. Selanjutnya disebutkan “Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian“. Kalimat tersebut bisa berarti bahwa Bocah Angon menggembalakan kertas dan pena untuk menemukan sejarah dan kejadian. Entah sejarah dan kejadian apa yang dia kumpulkan, tetapi bisa dimengerti bahwa di Nusantara banyak sekali sejarah yang dirubah, mungkin hal tersebut bisa juga terkait dengan pelurusan sejarah kita. Dia akan terus mengumpulkan sejarah dan kejadian-kejadian penting tentunya untuk menyelesaikan masalah di Nusantara. Wajar saja bila sejarah ditelusuri karena memang untuk menyelesaikan suatu masalah tidak bisa tidak harus mengetahui awal sejarahnya bagaimana bisa terjadi. Dengan kegemarannya menelusuri sejarah dan kejadian yang dituangkan dalam kertas dan pena tersebut kelak masalah di Nusantara akan bisa dibereskan dengan mudah. Semoga. 4. Rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu. Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu”. Kata di ujung sungai menunjukkan bahwa rumah Bocah Angon letaknya berada dekat dengan hulu sungai. Siliwangi tidak memberikan gambaran berapa jarak antara rumah dengan sungai tersebut. Bisa jadi hanya beberapa meter dari sungai, tetapi bisa jadi puluhan meter dari sungai. Prabu Siliwangi juga tidak menyebutkan nama dari sungai tersebut sehingga rada menyulitkan untuk menentukan letak sungainya. Di Jawa terdapat banyak sekali sungai membentang dari utara hingga selatan. Dan rata-rata di pinggir sungai terdapat banyak rumah penduduk dan ini tentunya sangat menyulitkan untuk menentukan letak sungainya yang sesuai kata Prabu Siliwangi. Namun yang pasti Bocah Angon rumahnya dekat sungai sehingga bila ada yang mengaku dirinya Bocah Angon tetapi rumahnya jauh dari sungai berarti itu tidak sesuai dengan Uga Wangsit Siliwangi. Kemudian untuk kata pintunya setinggi batu masih perlu dipertanyakan, apakah atap rumahnya terbuat dari batu? dan juga apakah pintu rumahnya juga terbuat dari batu? kok seperti rumah nenek moyang kita dulu. Bisa jadi demikian tetapi mungkin juga tidak demikian. Kalimat tersebut bisa dipahami bahwa rumah Bocah Angon tidak hanya 1 lantai, namun bertingkat rumahnya. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 161 yaitu “berumah seperti Raden Gatotkaca, berupa rumah merpati susun tiga“. Dari ungkapan Joyoboyo menunjukkan ada 3 lantai rumah dari Bocah Angon. Tentunya bukan rumah biasa, bisa jadi rumah tingkat ekonomi menengah atau memang Bocah Angon dari keluarga kaya? belum bisa dipastikan. Oleh karena untuk membuat suatu rumah yang bertingkat dengan bahan semen untuk lantai 2nya, maka dari bahan semen yang padat otomatis akan membentuk batu yang keras. Sehingga bisa dipahami bila pintu lantai pertama akan setinggi batu setinggi cor semen lantai 2. Memang kebanyakan rumah orang yang bertingkat pintunya pasti akan setinggi lantai 2, tepat di bawah cor semen yang telah menjadi batu tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa rumah Bocah Angon memang bertingkat yang pintunya setinggi lantai tingkat 2-nya. 5. Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang”. Kata rimbun oleh pohon Handeuleum dan Hanjuang berarti di depan rumah Bocah Angon terdapat 2 pohon yang sangat subur dan menjadi ciri khas rumahnya. Dalam hal ini hanya disebutkan 2 buah pohon saja, artinya memang hanya ada 2 buah pohon di depan rumahnya sebagai pembeda dari rumah lainnya. Apabila ditelusuri kedua jenis pohon tersebut dalam istilah bahasa Indonesianya memang belum diketahui apa namanya. Kedua kata tersebut sepertinya bahasa kuno dari daerah Sunda tempat Prabu Siliwangi berada. Hingga kini belum ada pihak yang merasa mengetahui kedua jenis pohon tersebut. Bahkan orang-orang asli Sunda pun juga mengaku tidak mengetahui kedua jenis pohon itu. Kita tunggu saja kelak akan kita ketahui juga. Sementara itu beberapa kalangan justru menafsirkan kata Handeuleum dan Hanjuang sebagai simbol saja. Benarkah kedua pohon itu sebenarnya bukan pohon hidup di atas tanah, tetapi sekedar simbol saja? Coba anda lihat kembali Prabu Siliwangi menyebut Pemuda Penggembala dengan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon.” Kata pemuda penggembala itu cuma simbol dari Prabu Siliwangi. Kemudian simbol tersebut dijelaskan bila yang digembalakan bukan binatang, tetapi daun dan ranting. Sementara kata Handeuleum dan Hanjuang tidak ada kalimat penjelasan selanjutnya. Sehingga kedua kata tersebut dapat dipastikan memang dua buah pohon yang tumbuh di atas tanah. Apabila simbol tentunya Prabu Siliwangi akan menjelaskan maksudnya. 6. Pergi bersama pemuda berjanggut. Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Siapakah pemuda berjanggut itu? Penyebutan pemuda berjanggut ini masih perlu dipertanyakan. Apakah pemuda tersebut merupakan kerabat atau keluarga atau teman ataukah pengasuh si Bocah Angon? Belum jelas diketahui karena memang dalam Uga Wangsit Siliwangi tidak menyinggung mengenai hal tersebut. Dalam naskah-naskah lain memberitahukan bahwa Ratu Adil memiliki pengasuh yaitu Sabdo Palon. Mungkinkah pemuda berjanggut tersebut adalah Sabdo Palon? Sepertinya tidak karena Sabdo Palon merupakan sosok Jin, sementara penyebutan kata pemuda menunjukkan dia adalah manusia. Jadi pemuda berjanggut bukanlah Sabdo Palon. Misteri ini masih sulit untuk diungkap yang sebenarnya. Pada saat Bocah Angon masih menjadi sosok yang misteri, pada saat yang sama pula ada sosok lain yaitu pemuda berjanggut yang jati dirinya juga masih misteri. Namun yang pasti pemuda tersebut memiliki janggut dan kelak akan kita ketahui setelah tiba waktu kemunculan Bocah Angon. 7. Pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Bocah Angon sepertinya tidak akan ditemukan sebelum kemunculannya. Ketika orang-orang sudah menemukan rumahnya yang di ujung sungai, dia telah pergi bersama pemuda berjanggut ke Lebak Cawéné. Prabu Siliwangi tidak menyebutkan kemudian orang-orang akan berhasil menemukan Bocah Angon di Lebak Cawéné setelah gagal menemukan di rumahnya. Tidak ada kalimat tersebut dalam Uga Wangsit Siliwangi. Karena tidak ada kata itu maka bisa disimpulkan bahwa jarak antara rumah dengan Lebak Cawéné tidak dekat bahkan mungkin sangat Siliwangi juga tidak menyebutkan setelah pergi ke Lebak Cawéné si Bocah Angon kemudian kembali lagi ke rumahnya. Karena tidak ada kalimat yang menyebutkan hal tersebut berarti Lebak Cawéné merupakan tempat baru yang ditinggali Bocah Angon setelah rumahnya yang di ujung sungai di tinggal pergi. Apabila Bocah Angon kembali lagi ke rumahnya yang di ujung sungai, maka tentunya Prabu Siliwangi akan menyebutnya berhasil ditemukan di rumahnya. Sudah pasti bila orang telah menemukan rumahnya maka akan ditunggui kapan kembalinya. Tetapi ternyata tidak ada kalimat tersebut dalam Uga Wangsit Siliwangi. Sampai saat ini belum diketahui dimana letak Lebak Cawéné berada. Dalam peta Jawa maupun peta Indonesia, tidak ada daerah yang diberi nama Lebak Cawéné. Oleh karena namanya yang masih asing inilah maka banyak kalangan menafsirkan menurut keyakinannya masing-masing. Ada yang menafsirkan Lebak Cawéné berada di lereng sebuah gunung. Ada juga yang mengatakan berada di petilasan Joyoboyo. Yang lain mengatakan berada di tempat yang ada guanya dan sebagainya membuat semakin tidak jelas saja letak Lebak Cawéné dimana. Tetapi apabila anda meyakini sebuah tempat merupakan Lebak Cawéné, maka bisa dipastikan anda akan memaksakan kehendak untuk menentukan 1 orang di daerah tersebut sebagai calon Ratu Adil. Wah jadi kasian pada orangnya kena sasaran. Ketahuilah bahwa Prabu Siliwangi tidak menyebutkan Bocah Angon akan berhasil ditemukan di Lebak Cawéné. Di sisi lain Prabu Siliwangi juga tidak memberikan ciri-ciri Lebak Cawéné yang dia katakan sehingga mustahil Lebak Cawéné bisa diketahui sebelum Ratu Adil muncul, kecuali anda lebih sakti dari Prabu Siliwangi. 8. Gagak berkoar di dahan mati. Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati”. Kata Gagak berkoar mungkinkah memang burung Gagak yang suka berkicau, ataukah itu merupakan simbol kemungkinan mengenai Gagak berkoar tersebut. Namun dalam naskah-naskah lain seperti yang diungkap Ronggowarsito dan Joyoboyo bahwa Bocah Angon sebelum menjadi Ratu Adil hidupnya menderita, dia sering dihina oleh orang. Apabila dikaitkan dengan hal tersebut maka Gagak berkoar itu bisa juga diartikan sebagai orang-orang yang suka menghina si Bocah karena hidupnya yang selalu saja dihina orang, maka akhirnya Bocah Angonpun pergi meninggalkan rumahnya. Kemudian dia bersama pemuda berjanggut menuju ke Lebak Cawéné untuk membuka lahan baru disana. Semua mencari tumbal bisa saja diartikan sebagai mencari berita dan ketika yang dicari si Bocah Angon sudah tidak ada, maka tidak bisa tidak mencari berita dari para Gagak yang berkoar tersebut. 9. Ratu Adil sejati. Dalam Uga Wangsit Siliwangi disebutkan “Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.” Kita disuruh Siliwangi untuk mencari Bocah Angon, karena dialah yang kelak akan menjadi Ratu Adil Prabu Siliwangi bermaksud memberikan pesan untuk berhati-hati dalam mencari Bocah Angon. Hal ini dikarenakan banyak sekali Bocah Angon palsu akan bermunculan di Jawa ini. Kemunculan Bocah Angon palsu bisa jadi karena dukungan orang lain akan dirinya sehingga dipaksa cocok menjadi Ratu Adil, tetapi juga bisa jadi karena terburu-buru meyakini dirinyalah si Bocah saat ini telah banyak terdengar dimana-mana dari Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur, orang-orang yang muncul diyakini sebagai Ratu Adil. Bahkan juga bermunculan dimana-mana orang yang mengakui dirinyalah Ratu Adil tersebut. Apabila dimintai bukti maka orang-orang tersebut akan mencocok-cocokkan diri dengan naskah-naskah yang ada untuk meyakinkan orang. Padahal kenyataan tidak semuanya itulah Prabu Siliwangi berpesan agar kita mencari Ratu Adil sejati, karena Ratu Adil sejati hanya satu sementara Ratu Adil palsu banyak sekali. Walaupun banyak Ratu Adil palsu, hal itu tidak akan mengubah kepastian munculnya yang asli. Apabila yang asli telah muncul maka semua akan terbukti mana yang asli dan mana yang palsu sesuai kata Siliwangi “Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.”Demikianlah beberapa hal mengenai Bocah Angon sesuai yang disebutkan dalam naskah Uga Wangsit Siliwangi. Prabu Siliwangi sengaja tidak begitu jelas menggambarkan si Bocah Angon dalam naskahnya sehingga sangat menyulitkan kita untuk menemukannya. Kesengajaan ini dimengerti karena memang akan banyak pihak-pihak yang tentunya menghalangi kemunculan Ratu Adil dengan berbagai alasannya. Pada saat Prabu Siliwangi tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai Bocah Angon. Di waktu yang sama pula kita disuruh untuk mencari si Bocah Angon tersebut, memangnya kita ini terlahir sebagai detektif semua. Namun yang pasti kelak akan diketahui juga mana Ratu Adil palsu dan mana Ratu Adil yang sejati tentunya setelah tiba waktu kemunculannya. Untuk itu baik ditunggu, dicari maupun tidak sama sekali sepertinya hasilnya tetap sama. Waktunya akan segera tiba. Semoga Indonesia akan menemukan titik akhir tujuan, menjadi negara yang damai, tentram dan maju....... Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Prabu Siliwangi berpesan "suatu saat nanti akan datang "Budak Angon" budak= anak; angon=gembala. Yang ia gembalakan ranting dan daun kering analogi pena dan kertas. Ia terus lakukan kegemarannya, menjelajah dan mengumpul apa yang ia temui, yakni sejarah umat manusia zaman ke wangsit Prabu Siliwangi ini nampaknya sejalan dengan agenda Allah di akhir zaman, yaitu membuka secara terang benderang perjalanan sejarah umat manusia, dari yang awal hingga paling akhir, layaknya sebuah film menjelang akhir yang membuka plot cerita sejelas-jelasnya. Hal telah saya bahas khusus dalam tulisan ini Apokalips, Penyingkapan Hal-hal yang Selama Ini Tersembunyi dari Umat Manusia Ada kemungkinan, Budak Angon yang disebut Prabu Siliwangi adalah "hamba Allah" yang berperan sebagai pengungkap secara terang benderang riwayat sejarah umat manusia. Hal menarik lainnya, Ratu Adil yang ada disebutkan dalam wangsit Prabu Jayabaya, ternyata disebutkan pula oleh prabu Siliwangi, bahkan, nampaknya banyak kalangan menganggap bahwa sosok Budak Angon adalah sama dengan Ratu pribadi cenderung sepakat dengan pendapat tersebut. Terutama karena nama "Budak Angon" ataupun "Ratu Adil" lebih merupakan sebutan peran. Jadi, ada saat di mana sosok misterius itu menjalani peran sebagai "anak gembala", di saat lain menjalani peran sebagai "Raja yang Adil".Pemahaman ini dapat dilihat sejalan dengan sebutan Satria Piningit, yang dapat dimaknai satria yang ditahan kemunculannya hingga tiba pada waktu yang ditentukan. Pemahaman nama satria piningat ini kelihatan berkorelasi pula dengan sosok maitreya dalam tradisi halnya satria piningit, sosok maitreya dalam tradisi Buddhist juga biasanya digambarkan dalam visual bentuk patung dengan pose duduk mengongkang kaki, menyiratkan tengah menunggu waktu untuk kemunculannya. Jika kita bergeser ke sosok eskatologi dalam tradisi Islam, di sana ada nama al Mahdi, nama ini pun pada dasarnya sebutan gelar. Mahdi artinya "orang yang mendapat petunjuk".Satria Piningit, Budak Angon, Ratu Adil, Maitreya, hingga Al Mahdi, pada umumnya dipercaya dalam masing-masing tradisi, sebagai seorang sosok anak muda. Ini bisa menguatkan asumsi jika kesemua nama itu merujuk pada satu orang yang siapa sesungguhnya sosok anak muda misterius ini, adalah hal yang tidak akan diungkap, sebelum tiba pada waktu yang ditentukan. Orang yang tahu esensi, seperti Prabu Siliwangi ataupun Prabu Jayabaya, tidak akan mengungkap walaupun sangat mungkin bahwa mereka tahu. 1 2 3 Lihat Sosbud Selengkapnya BUDAK ANGON MENURUT NASKAH UGA WANGSIT SILIWANGI Wangsit Siliwangi “Suatu saat nanti, apabila tengah malam terdengar suara pembawa panji, nah itu adalah tandanya.” Sosok “Satrio Piningit” memang masih misterius. Banyak sudah yang mencoba untuk menemukannya dengan caranya sendiri-sendiri. Alhasil, ada yang yakin telah menemukannya, bahkan juga ada yang mengaku dirinyalah si Satrio Piningit tersebut. Apabila diteliti maka sosok yang telah ditemukan itu masih bisa diragukan apakah memang dia si calon Ratu Adil? Budak Angon atau “Penggembala” sesungguhnya merupakan konsepsi tentang kehidupan dan kemanusiaan. Dalam konteks diri manusia, Budak Angon merupakan konsep tentang penemuan jati diri dan pengendalian diri untuk apa sesungguhnya kita dicipta. Selain jasad kita yang sesungguhnya hanyalah “tunggangan” yang harus ditundukkan, dikendalikan, dan diarahkan melalui proses “penggembalaan”, dalam diri kita juga terdapat kumpulan “sasatoan” yang tidak untuk dimatikan melainkan untuk digembalakan sehingga menjadi potensi dan energi positif bagi penemuan misi hidup kita. Dalam konteks kehidupan sesama, Budak Angon menjelaskan suatu upaya dan proses “penertiban”, pembangunan kesadaran, serta pengarahan hubungan antarsesama yang dilandasi cinta dan kasih sayang. Suatu tatanan kehidupan yang lebih berkeadilan. Dalam konteks sosok, pribadi-pribadi yang bekerja keras dalam upaya dan proses yang demikianlah disebut Budak Angon. Keragu-raguan yang muncul mendorong untuk menelaah dan mempelajari kembali apa yang telah diungkapkan dalam naskah-naskah leluhur mengenai sosok Satrio Piningit sejati. Salah satu naskah yang biasa kita gunakan sebagai rujukan yaitu Uga Wangsit Siliwangi. Siliwangi dalam Ugo Wangsitnya menyebut si calon Ratu Adil dengan sebutan Bocah Angon atau Pemuda Penggembala. Beberapa hal yang disebutkan dalam Ugo Wangsit Siliwangi mengenai Bocah Angon yaitu 1. Suara minta tolong. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti, apabila tengah malam, dari gunung Halimun terdengar suara para pembawa panji, nah itu adalah tandanya. Semua keturunan kalian dipanggil oleh yang mau menikah di Lebak Cawéné.” Kata “suara minta tolong” sepertinya sama dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 169 yaitu “senang menggoda dan minta secara nista, ketahuilah bahwa itu hanya ujian, jangan dihina, ada keuntungan bagi yang dimintai artinya dilindungi anda sekeluarga“. Bocah Angon di awal kemunculannya akan beraksi melakukan hal-hal sebagai pertanda kedatangannya. Salah satunya adalah meminta tolong kepada orang di sekitar daerah Gunung Halimun. Tidak jelas mengapa dia minta tolong kepada orang lain, apakah dia dalam kesulitan ataukah keperluan lainnya. Yang pasti bila telah terjadi hal demikian berarti itu pertanda akan kemunculannya. Sementara dikaitkan dengan Ramalan Joyoboyo paba bait 169 disebutkan bila Bocah Angon tersebut “suka minta secara nista sebagai ujian”. Kalimat tersebut mengindikasikan bahwa minta tolong itu hanya sebatas ujian bagi yang dimintai pertolongan. Ujian apakah itu? belum diketahui ujian apa yang suka dilakukan Bocah Angon pada orang. Sebaiknya kita tunggu saja kejadiannya. 2. Mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Suatu saat nanti akan banyak hal yang ditemui, sebagian-sebagian. Sebab terlanjur dilarang oleh Pemimpin Pengganti! Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala.” Kata terlanjur dilarang ini apa maksudnya? Apakah dilarang dalam mengungkap fakta-fakta, ato dilarang meluruskan sejarah? sepertinya masih butuh penafsiran lagi. Yang pasti Bocah Angon sepertinya tidak peduli dengan larangan pemimpin. Bahkan bukan hanya tidak peduli dengan larangan tersebut, tetapi lebih dari itu Bocah Angon melawan larangan si pemimpin itu sambil tertawa. Tidak bisa dibayangkan bagaimana perasaan si pemimpin bila dilawan sambil tertawa. Bisa-bisa Bocah Angon dalam situasi bahaya nih karena kerjanya selalu melawan sang pemimpin pengganti. Kata banyak yang ditemui sebagian-sebagian karena terlanjur dilarang pemimpin baru, menunjukkan bahwa yang akan ditemukan masyarakat memang hanya sebagian saja. Oleh karena sebagian saja maka yang ditemukan tersebut belumlah lengkap dan tentunya belum sempurna hasilnya. Tetapi tidak bagi Bocah Angon, dia terus saja mencari sambil melawan. Bisa jadi temuan si Bocah Angon ini kelak merupakan temuan yang paling lengkap dan mendekati kebenaran. 3. Dia gembalakan ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.” Bocah Angon memiliki kebiasaan mengumpulkan daun dan ranting. Kata daun dan ranting yang disebutkan Uga Wangsit Siliwangi dalam bahasa asli Sundanya yaitu “Kalakay jeung Tutunggul“. Kalakay merupakan daun lontar yang biasa digunakan oleh orang kita pada jaman dulu kala sebagai lembaran daun untuk menulis. Sementara Tutunggul merupakan ranting pohon yang biasa digunakan orang kita pada jaman dulu kala sebagai pena untuk menulis. Sehingga Kalakay dan Tutunggul bisa diartikan sebagai kertas dan pena. Si Bocah Angon ini memiliki kegemaran suka menggembalakan kertas dan pena. Dia terus mengumpulkan dan mengumpulkan kedua barang tersebut sebagai gembalaannya. Tidak jelas kenapa dia suka menggembalakan kertas dan pena. Kata mengumpulkan itu berarti kertas dan pena tersebut tidak hanya 1 buah, tetapi jumlahnya banyak dan itu menjadi barang kegemarannya. Selanjutnya disebutkan “Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui. Tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian“. Kalimat tersebut bisa berarti bahwa Bocah Angon menggembalakan kertas dan pena untuk menemukan sejarah dan kejadian. Ntah sejarah dan kejadian apa yang dia kumpulkan, tetapi bisa dimengerti bahwa di Nusantara banyak sekali sejarah yang dirubah, mungkin hal tersebut bisa juga terkait dengan pelurusan sejarah kita. Dia akan terus mengumpulkan sejarah dan kejadian-kejadian penting tentunya untuk menyelesaikan masalah di Nusantara. Wajar saja bila sejarah ditelusuri karena memang untuk menyelesaikan suatu masalah tidak bisa tidak harus mengetahui awal sejarahnya bagaimana bisa terjadi. Dengan kegemarannya menelusuri sejarah dan kejadian yang dituangkan dalam kertas dan pena tersebut kelak masalah di Nusantara akan bisa dibereskan dengan mudah. Semoga. 4. Rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “lalu mereka mencari anak gembala, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu”. Kata di ujung sungai menunjukkan bahwa rumah Bocah Angon letaknya berada dekat dengan hulu sungai. Siliwangi tidak memberikan gambaran berapa jarak antara rumah dengan sungai tersebut. Bisa jadi hanya beberapa meter dari sungai, tetapi bisa jadi puluhan meter dari sungai. Siliwangi juga tidak menyebutkan nama dari sungai tersebut sehingga rada menyulitkan untuk menentukan letak sungainya. Di Jawa terdapat banyak sekali sungai membentang dari utara hingga selatan. Dan rata-rata di pinggir sungai terdapat banyak rumah penduduk dan ini tentunya sangat menyulitkan untuk menentukan letak sungainya yang sesuai kata Siliwangi. Namun yang pasti Bocah Angon rumahnya dekat sungai sehingga bila ada yang mengaku dirinya Bocah Angon tetapi rumahnya jauh dari sungai berarti itu tidak sesuai dengan Ugo Wangsit Siliwangi. Kemudian untuk kata pintunya setinggi batu masih perlu dipertanyakan, apakah atap rumahnya terbuat dari batu? dan juga apakah pintu rumahnya juga terbuat dari batu? kok seperti rumah nenek moyang kita dulu. Bisa jadi demikian tetapi mungkin juga tidak demikian. Kalimat tersebut bisa dipahami bahwa rumah Bocah Angon tidak hanya 1 lantai, namun bertingkat rumahnya. Hal ini diperkuat dengan ungkapan Joyoboyo dalam bait 161 yaitu “berumah seperti Raden Gatotkaca, berupa rumah merpati susun tiga“. Dari ungkapan Joyoboyo menunjukkan ada 3 lantai rumah dari Bocah Angon. Tentunya bukan rumah biasa, bisa jadi rumah tingkat ekonomi menengah atau memang Bocah Angon dari keluarga kaya? belum bisa dipastikan. Oleh karena untuk membuat suatu rumah yang bertingkat dengan bahan semen untuk lantai 2nya, maka dari bahan semen yang padat otomatis akan membentuk batu yang keras. Sehingga bisa dipahami bila pintu lantai pertama akan setinggi batu setinggi cor semen lantai 2. Memang kebanyakan rumah orang yang bertingkat pintunya pasti akan setinggi lantai 2, tepat di bawah cor semen yang telah menjadi batu tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa rumah Bocah Angon memang bertingkat yang pintunya setinggi lantai tingkat 2-nya. 5. Tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang”. Kata rimbun oleh pohon Handeuleum dan Hanjuang berarti di depan rumah Bocah Angon terdapat 2 pohon yang sangat subur dan menjadi ciri khas rumahnya. Dalam hal ini hanya disebutkan 2 buah pohon saja, artinya memang hanya ada 2 buah pohon di depan rumahnya sebagai pembeda dari rumah lainnya. Apabila ditelusuri kedua jenis pohon tersebut dalam istilah bahasa Indonesianya memang belum diketahui apa namanya. Kedua kata tersebut sepertinya bahasa kuno dari daerah Sunda tempat Siliwangi berada. Hingga kini belum ada pihak yang merasa mengetahui kedua jenis pohon tersebut. Bahkan orang-orang asli Sundapun juga mengaku tidak mengetahui kedua jenis pohon itu. Kita tunggu saja kelak akan kita ketahui juga. Sementara itu beberapa kalangan justru menafsirkan kata Handeuleum dan Hanjuang sebagai simbol saja. Benarkah kedua pohon itu sebenarnya bukan pohon hidup di atas tanah, tetapi sekedar simbol saja? Coba anda lihat kembali Siliwangi menyebut Pemuda Penggembala dengan “Apa yang dia gembalakan? Bukan kerbau bukan domba, bukan pula harimau ataupun banteng. Tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon.” Kata pemuda penggembala itu cuma simbol dari Siliwangi. Kemudian simbol tersebut dijelaskan bila yang digembalakan bukan binatang, tetapi daun dan ranting. Sementara kata Handeuleum dan Hanjuang tidak ada kalimat penjelasan selanjutnya. Sehingga kedua kata tersebut dapat dipastikan memang dua buah pohon yang tumbuh di atas tanah. Apabila simbol tentunya Siliwangi akan menjelaskan maksudnya. 6. Pergi bersama pemuda berjanggut Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Siapakah pemuda berjanggut itu? Penyebutan pemuda berjanggut ini masih perlu dipertanyakan. Apakah pemuda tersebut merupakan kerabat atau keluarga atau teman ataukah pengasuh si Bocah Angon? Belum jelas diketahui karena memang dalam Ugo Wangsit Siliwangi tidak menyinggung mengenai hal tersebut. Dalam naskah-naskah lain memberitahukan bahwa Ratu Adil memiliki pengasuh yaitu Sabdo Palon. Mungkinkah pemuda berjanggut tersebut adalah Sabdo Palon? Sepertinya tidak karena Sabdo Palon merupakan sosok Jin, sementara penyebutan kata pemuda menunjukkan dia adalah manusia. Jadi pemuda berjanggut bukanlah Sabdo Palon. Misteri ini masih sulit untuk diungkap yang sebenarnya. Pada saat Bocah Angon masih menjadi sosok yang misteri, pada saat yang sama pula ada sosok lain yaitu pemuda berjanggut yang jati dirinya juga masih misteri. Namun yang pasti pemuda tersebut memiliki janggut dan kelak akan kita ketahui setelah tiba waktu kemunculan Bocah Angon. 7. Pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Bocah Angon sepertinya tidak akan ditemukan sebelum kemunculannya. Ketika orang-orang sudah menemukan rumahnya yang di ujung sungai, dia telah pergi bersama pemuda berjanggut ke Lebak Cawéné. Siliwangi tidak menyebutkan kemudian orang-orang akan berhasil menemukan Bocah Angon di Lebak Cawéné setelah gagal menemukan di rumahnya. Tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi. Karena tidak ada kata itu maka bisa disimpulkan bahwa jarak antara rumah dengan Lebak Cawéné tidak dekat bahkan mungkin sangat jauh. Siliwangi juga tidak menyebutkan setelah pergi ke Lebak Cawéné si Bocah Angon kemudian kembali lagi ke rumahnya. Karena tidak ada kalimat yang menyebutkan hal tersebut berarti Lebak Cawéné merupakan tempat baru yang ditinggali Bocah Angon setelah rumahnya yang di ujung sungai di tinggal pergi. Apabila Bocah Angon kembali lagi ke rumahnya yang di ujung sungai, maka tentunya Siliwangi akan menyebutnya berhasil ditemukan di rumahnya. Sudah pasti bila orang telah menemukan rumahnya maka akan ditunggui kapan kembalinya. Tetapi ternyata tidak ada kalimat tersebut dalam Ugo Wangsit Siliwangi. Sampai saat ini belum diketahui dimana letak Lebak Cawéné berada. Dalam peta Jawa maupun peta Indonesia, tidak ada daerah yang diberi nama Lebak Cawéné. Oleh karena namanya yang masih asing inilah maka banyak kalangan menafsirkan menurut keyakinannya masing-masing. Ada yang menafsirkan Lebak Cawéné berada di lereng sebuah gunung. Ada juga yang mengatakan berada di petilasan Joyoboyo. Yang lain mengatakan berada di tempat yang ada guanya dan sebagainya membuat semakin tidak jelas saja letak Lebak Cawéné dimana. Tetapi apabila anda meyakini sebuah tempat merupakan Lebak Cawéné, maka bisa dipastikan anda akan memaksakan kehendak untuk menentukan 1 orang di daerah tersebut sebagai calon Ratu Adil. Wah jadi kasian pada orangnya kena sasaran. Ketahuilah bahwa Siliwangi tidak menyebutkan Bocah Angon akan berhasil ditemukan di Lebak Cawéné. Di sisi lain Siliwangi juga tidak memberikan ciri-ciri Lebak Cawéné yang dia katakan sehingga mustahil Lebak Cawéné bisa diketahui sebelum Ratu Adil muncul, kecuali anda lebih sakti dari Siliwangi. Kemampuan sama dengan Siliwangi aja tidak mungkin apalagi lebih tinggi dari Siliwangi, jelas tidak mungkin lagi. 8. Gagak berkoar di dahan mati. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Semua mencari tumbal, tapi pemuda gembala sudah tidak ada, sudah pergi bersama pemuda berjanggut, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné! Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati”. Kata Gagak berkoar mungkinkah memang burung Gagak yang suka berkicau, ataukah itu merupakan simbol saja. Banyak kemungkinan mengenai Gagak berkoar tersebut. Namun dalam naskah-naskah lain seperti yang diungkap Ronggowarsito dan Joyoboyo bahwa Bocah Angon sebelum menjadi Ratu Adil hidupnya menderita, dia sering dihina oleh orang. Apabila dikaitkan dengan hal tersebut maka Gagak berkoar itu bisa juga diartikan sebagai orang-orang yang suka menghina si Bocah Angon. Oleh karena hidupnya yang selalu saja dihina orang, maka akhirnya Bocah Angonpun pergi meninggalkan rumahnya. Kemudian dia bersama pemuda berjanggut menuju ke Lebak Cawéné untuk membuka lahan baru disana. Semua mencari tumbal bisa saja diartikan sebagai mencari berita dan ketika yang dicari si Bocah Angon sudah tidak ada, maka tidak bisa tidak mencari berita dari para Gagak yang berkoar tersebut. 9. Ratu Adil sejati. Dalam Ugo Wangsit Siliwangi disebutkan “Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.” Kita disuruh Siliwangi untuk mencari Bocah Angon, karena dialah yang kelak akan menjadi Ratu Adil sejati. Sepertinya SIliwangi bermaksud memberikan pesan untuk berhati-hati dalam mencari Bocah Angon. Hal ini dikarenakan banyak sekali Bocah Angon palsu akan bermunculan di Jawa ini. Kemunculan Bocah Angon palsu bisa jadi karena dukungan orang lain akan dirinya sehingga dipaksa cocok menjadi Ratu Adil, tetapi juga bisa jadi karena terburu-buru meyakini dirinyalah si Bocah Angon. Lihatlah saat ini telah banyak terdengar dimana-mana dari Jawa bagian barat hingga Jawa bagian timur, orang-orang yang muncul diyakini sebagai Ratu Adil. Bahkan juga bermunculan dimana-mana orang yang mengakui dirinyalah Ratu Adil tersebut. Apabila dimintai bukti maka orang-orang tersebut akan mencocok-cocokkan diri dengan naskah-naskah yang ada untuk meyakinkan orang. Padahal kenyataan tidak semuanya cocok. Untuk itulah Siliwangi berpesan agar kita mencari Ratu Adil sejati, karena Ratu Adil sejati hanya satu sementara Ratu Adil palsu banyak sekali. Walaupun banyak Ratu Adil palsu, hal itu tidak akan mengubah kepastian munculnya yang asli. Apabila yang asli telah muncul maka semua akan terbukti mana yang asli dan mana yang palsu sesuai kata Siliwangi “Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, cari oleh kalian pemuda gembala.” Demikianlah beberapa hal mengenai Bocah Angon sesuai yang disebutkan dalam naskah Ugo Wangsit Siliwangi. Siliwangi sengaja tidak begitu jelas menggambarkan si Bocah Angon dalam naskahnya sehingga sangat menyulitkan kita untuk menemukannya. Kesengajaan ini dimengerti karena memang akan banyak pihak-pihak yang tentunya menghalangi kemunculan Ratu Adil dengan berbagai alasannya. Pada saat Siliwangi tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai Bocah Angon. Di waktu yang sama pula kita disuruh untuk mencari si Bocah Angon tersebut, memangnya kita ini terlahir sebagai detektif semua. Namun yang pasti kelak akan diketahui juga mana Ratu Adil palsu dan mana Ratu Adil yang sejati tentunya setelah tiba waktu kemunculannya. Untuk itu baik ditunggu, dicari maupun tidak sama sekali sepertinya hasilnya tetap sama. Waktunya akan segera tiba. Ciri-ciri hadirnya budak angon/satrio paningit menurut prabu siliwangi dalam uga wangsitnya sebagai berikut dijelaskan secara rinci… Uga Wangsit Siliwangi Membaca naskah Uga Wangsit Siliwangi terasa mengandung hakekat yang sangat tinggi bila telah memahaminya. Karena di dalamnya digambarkan situasi kondisi sosial beberapa masa utama dengan karakter pemimpinnya dalam kurun waktu perjalanan panjang sejarah negeri ini pasca kepergian Prabu Siliwangi ngahiang/menghilang. Peristiwa itu ditandai dengan menghilangnya Pajajaran. Dan sesuai sabda Prabu Siliwangi bahwa kelak kemudian akan ada banyak orang yang berusaha membuka misteri Pajajaran. Namun yang terjadi mereka yang berusaha mencari hanyalah orang-orang sombong dan takabur. Seperti diungkapkan dalam naskah tersebut berikut ini .”*”Ti mimiti poé ieu, Pajajaran leungit ti alam hirup. Leungit dayeuhna, leungit nagarana. Pajajaran moal ninggalkeun tapak, jaba ti ngaran pikeun nu mapay. Sabab bukti anu kari, bakal réa nu malungkir! Tapi engké jaga bakal aya nu nyoba-nyoba, supaya anu laleungit kapanggih deui. Nya bisa, ngan mapayna kudu maké amparan. Tapi anu marapayna loba nu arieu-aing pang pinterna. Mudu arédan heula “Semenjak hari ini, Pajajaran hilang dari alam nyata. Hilang kotanya, hilang negaranya. Pajajaran tidak akan meninggalkan jejak, selain nama untuk mereka yang berusaha menelusuri. Sebab bukti yang ada akan banyak yang menolak! tapi suatu saat akan ada yang mencoba, supaya yang hilang bisa ditemukan kembali. Bisa saja, hanya menelusurinya harus memakai dasar. Tapi yang menelusurinya banyak yang sok pintar dan sombong. Dan bahkan berlebihan kalau bicara.” Namun dalam naskah Wangsit Siliwangi ini dikatakan bahwa pada akhirnya yang mampu membuka misteri Pajajaran adalah sosok yang dikatakan sebagai ”Budak Angon” Anak Gembala. Sebagai perlambang sosok yang dikatakan oleh Prabu Siliwangi sebagai orang yang baik perangainya. ”Sakabéh turunan dia ku ngaing bakal dilanglang. Tapi, ngan di waktu anu perelu. Ngaing bakal datang deui, nulungan nu barutuh, mantuan anu sarusah, tapi ngan nu hadé laku-lampahna. Mun ngaing datang moal kadeuleu; mun ngaing nyarita moal kadéngé. Mémang ngaing bakal datang. Tapi ngan ka nu rancagé haténa, ka nu weruh di semu anu saéstu, anu ngarti kana wangi anu sajati jeung nu surti lantip pikirna, nu hadé laku lampahna. Mun ngaing datang; teu ngarupa teu nyawara, tapi méré céré ku wawangi.” ”Semua keturunan kalian akan aku kunjungi, tapi hanya pada waktu tertentu dan saat diperlukan. Aku akan datang lagi, menolong yang perlu, membantu yang susah, tapi hanya mereka yang bagus perangainya. Apabila aku datang takkan terlihat; apabila aku berbicara takkan terdengar. Memang aku akan datang tapi hanya untuk mereka yang baik hatinya, mereka yang mengerti dan satu tujuan, yang mengerti tentang harum sejati juga mempunyai jalan pikiran yang lurus dan bagus tingkah lakunya. Ketika aku datang, tidak berupa dan bersuara tapi memberi ciri de­ngan wewangian.” Selanjutnya dikatakan juga apa yang dilakukan oleh sosok ”Budak Angon” ini sbb ”Aya nu wani ngoréhan terus terus, teu ngahiding ka panglarang; ngoréhan bari ngalawan, ngalawan sabari seuri. Nyaéta budak angon; imahna di birit leuwi, pantona batu satangtungeun, kahieuman ku handeuleum, karimbunan ku hanjuang. Ari ngangonna? Lain kebo lain embé, lain méong lain banténg, tapi kalakay jeung tutunggul. Inyana jongjon ngorehan, ngumpulkeun anu kapanggih. Sabagian disumputkeun, sabab acan wayah ngalalakonkeun. Engke mun geus wayah jeung mangsana, baris loba nu kabuka jeung raréang ménta dilalakonkeun. Tapi, mudu ngalaman loba lalakon, anggeus nyorang undur jaman datang jaman, saban jaman mawa lalakon. Lilana saban jaman, sarua jeung waktuna nyukma, ngusumah jeung nitis, laju nitis dipinda sukma.” ”Ada yang berani menelusuri terus menerus, tidak mengindahkan larangan, mencari sambil melawan, melawan sambil tertawa. Dialah Anak Gembala; Rumahnya di belakang sungai, pintunya setinggi batu, tertutupi pohon handeuleum dan hanjuang. Apa yang dia gembalakan? bukan kerbau bukan domba, bukan pula kucing ataupun banteng, tetapi ranting daun kering dan sisa potongan pohon. Dia terus mencari, mengumpulkan semua yang dia temui, tapi akan menemui banyak sejarah/kejadian, selesai jaman yang satu datang lagi satu jaman yang jadi sejarah/kejadian baru, setiap jaman membuat sejarah. Setiap waktu akan berulang itu dan itu lagi.” Dari bait di atas digambarkan bahwa sosok ”Budak Angon” adalah sosok yang misterius dan tersembunyi. Apa yang dilakukannya bukanlah seperti seorang penggembala pada umumnya, akan tetapi terus berjalan mencari hakekat jawaban dan mengumpulkan apa yang menurut orang lain dianggap sudah tidak berguna atau bermanfaat. Dalam hal ini dilambangkan dengan ranting daun kering dan tunggak pohon. Sehingga secara hakekat yang dimaksudkan semua itu sebenarnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan sejarah kejadian asal-usul/sebab-musabab termasuk karya-karya warisan leluhur seperti halnya yang kita baca ini. Dimana hal-hal semacam itu karena kemajuan jaman oleh generasi digital sekarang ini dianggap sudah usang/kuno tidak berguna dan bermanfaat. Pada akhirnya yang tersirat dalam hakekat perjalanan panjang sejarah negeri ini adalah berputarnya roda Cokro Manggilingan pengulangan perjalanan sejarah. Gambaran situasi jaman dalam naskah Wangsit Siliwangi diawali dengan lambang datangnya ”Kerbau Bule” dan juga ”Monyet-monyet” yang kemudian ganti menyerbu selepas Kerbau Bule pergi. Ilustrasi ini melambangkan saat datangnya para penjajah yang berdatangan ke negeri ini, baik itu Portugis maupun Belanda. Dengan politik adu domba mereka maka terjadi peperangan antar saudara. Sejarah banyak yang hilang dan diputarbalikkan. Seperti yang tertulis berikut ini ”Daréngékeun! Nu kiwari ngamusuhan urang, jaradi rajana ngan bakal nepi mangsa tanah bugel sisi Cibantaeun dijieun kandang kebo dongkol. Tah di dinya, sanagara bakal jadi sampalan, sampalan kebo barulé, nu diangon ku jalma jangkung nu tutunjuk di alun-alun. Ti harita, raja-raja dibelenggu. Kebo bulé nyekel bubuntut, turunan urang narik waluku, ngan narikna henteu karasa, sabab murah jaman seubeuh hakan. Ti dinya, waluku ditumpakan kunyuk; laju turunan urang aya nu lilir, tapi lilirna cara nu kara hudang tina ngimpi. Ti nu laleungit, tambah loba nu manggihna. Tapi loba nu pahili, aya kabawa nu lain mudu diala! Turunan urang loba nu hanteu engeuh, yén jaman ganti lalakon ! Ti dinya gehger sanagara. Panto nutup di buburak ku nu ngaranteur pamuka jalan; tapi jalan nu pasingsal! Nu tutunjuk nyumput jauh; alun-alun jadi suwung, kebo bulé kalalabur; laju sampalan nu diranjah monyét! Turunan urang ngareunah seuri, tapi seuri teu anggeus, sabab kaburu warung béak ku monyét, sawah béak ku monyét, leuit béak ku monyét, kebon béak ku monyét, sawah béak ku monyét, cawéné rareuneuh ku monyét. Sagala-gala diranjah ku monyét. Turunan urang sieun ku nu niru-niru monyét. Panarat dicekel ku monyet bari diuk dina bubuntut. Walukuna ditarik ku turunan urang keneh. Loba nu paraeh kalaparan. ti dinya, turunan urang ngarep-ngarep pelak jagong, sabari nyanyahoanan maresék caturangga. Hanteu arengeuh, yén jaman geus ganti deui lalakon.” ”Dengarkan! yang saat ini memusuhi kita, akan berkuasa hanya untuk sementara waktu tanahnya kering padahal di pinggir sungai Cibantaeun dijadikan kandang kerbau kosong. Nah di situlah, sebuah negara akan pecah, pecah oleh kerbau bule, yang digembalakan oleh orang yang tinggi dan memerintah di pusat kota. Semenjak itu, raja-raja dibelenggu. Kerbau bule memegang kendali, dan keturunan kita hanya jadi orang suruhan. Tapi kendali itu tak terasa sebab semuanya serba dipenuhi dan murah serta banyak itu, pekerjaan dikuasai monyet. Suatu saat nanti keturunan kita akan ada yang sadar, tapi sadar seperti terbangun dari mimpi. Dari yang hilang dulu semakin banyak yang terbongkar. Tapi banyak yang tertukar sejarahnya, banyak yang dicuri bahkan dijual! Keturunan kita banyak yang tidak tahu, bahwa jaman sudah berganti! Pada saat itu geger di seluruh negara. Pintu dihancurkan oleh mereka para pemimpin, tapi pemimpin yang salah arah!Yang memerintah bersembunyi, pusat kota kosong, kerbau bule kabur. Negara pecahan diserbu monyet! keturunan kita enak tertawa, tapi tertawa yang terpotong, sebab ternyata, pasar habis oleh penyakit, sawah habis oleh penyakit, tempat padi habis oleh penyakit, kebun habis oleh penyakit, perempuan hamil oleh penyakit. semuanya diserbu oleh penyakit. Keturunan kita takut oleh segala yang berbau penyakit. Semua alat digunakan untuk menyembuhkan penyakit sebab sudah semakin parah. yang mengerjakannya masih bangsa sendiri. Banyak yang mati kelaparan. Semenjak itu keturunan kita banyak yang berharap bisa bercocok tanam sambil sok tahu membuka lahan. Mereka tidak sadar bahwa jaman sudah berganti cerita lagi.” Kemudian akhirnya masuk pada masa Perang Dunia II dengan datangnya pasukan Jepang yang dilambangkan dengan gemuruh yang datang dari ujung laut utara. Dimana masa penjajahan Jepang menandai berakhirnya penindasan di negeri ini. Terutama peristiwa jatuhnya bom atom di Nagasaki dan Hiroshima oleh Amerika, sebagai perlambang dalam naskah Wangsit Siliwangi bahwa situasi carut marut yang terjadi ada yang menghentikan yaitu orang seberang. ”Laju hawar-hawar, ti tungtung sagara kalér ngaguruh ngagulugur, galudra megarkeun endog. Génjlong saamparan jagat! Ari di urang ? Ramé ku nu mangpring. Pangpring sabuluh-buluh gading. Monyét ngumpul ting rumpuyuk. Laju ngamuk turunan urang; ngamukna teu jeung aturan. loba nu paraéh teu boga dosa. Puguh musuh, dijieun batur; puguh batur disebut musuh. Ngadak-ngadak loba nu pangkat nu maréntah cara nu édan, nu bingung tambah baringung; barudak satepak jaradi bapa. nu ngaramuk tambah rosa; ngamukna teu ngilik bulu. Nu barodas dibuburak, nu harideung disieuh-sieuh. Mani sahéng buana urang, sabab nu ngaramuk, henteu beda tina tawon, dipaléngpéng keuna sayangna. Sanusa dijieun jagal. Tapi, kaburu aya nu nyapih; nu nyapihna urang sabrang.” ”Lalu sayup-sayup dari ujung laut utara terdengar gemuruh, burung menetaskan telur. Riuh seluruh bumi! sementara di sini? Ramai oleh perang, saling menindas antar sesama. Penyakit bermunculan di sana sini. Lalu keturunan kita mengamuk mengamuk tanpa aturan. Banyak yang mati tanpa dosa, jelas-jelas musuh dijadikan teman; yang jelas-jelas teman dijadikan musuh. Mendadak banyak pemimpin dengan caranya sendiri. yang bingung semakin bingung. Banyak anak kecil sudah menjadi bapa. Yang mengamuk tambah berkuasa; mengamuk tanpa pandang bulu. Yang Putih dihancurkan, yang Hitam diusir. Kepulauan ini semakin kacau, sebab banyak yang mengamuk, tidak beda dengan tawon, hanya karena dirusak sarangnya. Seluruh nusa dihancurkan dan dikejar. Tetapi, ada yang menghentikan, yang menghentikan adalah orang seberang.” Lalu selanjutnya terdapat suatu masa yang digambarkan dengan munculnya seorang pemimpin negeri ini dengan gambaran sbb ”Laju ngadeg deui raja, asalna jalma biasa. Tapi mémang titisan raja. Titisan raja baheula jeung biangna hiji putri pulo Dewata. da puguh titisan raja; raja anyar hésé apes ku rogahala!” ”Lalu berdiri lagi penguasa yang berasal dari orang biasa. Tapi memang keturunan raja dahulu kala dan ibunya adalah seorang putri Pulau Dewata. Karena jelas keturunan raja; penguasa baru susah dianiaya!” Siapakah sosok yang dimaksud dalam bait ini? Dia adalah Soekarno, Presiden RI pertama. Ibunda Soekarno adalah Ida Ayu Nyoman Rai seorang putri bangsawan Bali. Ayahnya seorang guru bernama Raden Soekeni Sosrodihardjo. Namun dari penelusuran secara spiritual, ayahanda Soekarno sejatinya adalah Kanjeng Susuhunan Pakubuwono X. Nama kecil Soekarno adalah Raden Mas Malikul Koesno. Beliau termasuk ”anak ciritan” dalam lingkaran kraton Solo. Silakan dibuktikan.. Selanjutnya setelah berganti masa digambarkan bahwa semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Kondisi ini melambangkan pemimpin yang tidak mau mengerti penderitaan rakyat. Memerintah tidak dengan hati tapi segala sesuatunya hanya mengandalkan akal pikiran/logika dan kepentingan pribadi ataupun kelompoknya. Sehingga yang terjadi digambarkan banyak muncul peristiwa di luar penalaran. Menjadikan orang-orang pintar hanya bisa omong alias pinter keblinger, seperti yang dikatakan sbb ”Mingkin hareup mingkin hareup, loba buta nu baruta, naritah deui nyembah berhala. Laju bubuntut salah nu ngatur, panarat pabeulit dina cacadan; da nu ngawalukuna lain jalma tukang tani. Nya karuhan taraté hépé sawaréh, kembang kapas hapa buahna; buah paré loba nu teu asup kana aseupan. Da bonganan, nu ngebonna tukang barohong; nu tanina ngan wungkul jangji; nu palinter loba teuing, ngan pinterna kabalinger.” ”Semakin maju semakin banyak penguasa yang buta tuli, memerintah sambil menyembah berhala. Lalu anak-anak muda salah pergaulan, aturan hanya menjadi bahan omong­an, karena yang membuatnya bukan orang yang mengerti aturan itu sendiri. Sudah pasti bunga teratai hampa sebagian, bunga kapas kosong buahnya, buah pare banyak yang tidak masuk kukusan. Sebab yang berjanjinya banyak tukang bohong, semua diberangus janji-janji belaka, terlalu banyak orang pintar, tapi pintar keblinger.” Lalu dalam situasi dan kondisi tersebut yang tidak berbeda dengan saat ini kemudian muncul sosok orang yang dikatakan dalam naskah Wangsit Siliwangi sbb ”Ti dinya datang budak janggotan. Datangna sajamang hideung bari nyorén kanéron butut, ngageuingkeun nu keur sasar, ngélingan nu keur paroho. Tapi henteu diwararo! Da pinterna kabalinger, hayang meunang sorangan. Arinyana teu areungeuh, langit anggeus semu beureum, haseup ngebul tina pirunan. Boro-boro dék ngawaro, malah budak nu janggotan, ku arinyana ditéwak diasupkeun ka pangbérokan. Laju arinyana ngawut-ngawut dapur batur, majarkeun néangan musuh; padahal arinyana nyiar-nyiar pimusuheun. Sing waspada! Sabab engké arinyana, bakal nyaram Pajajaran didongéngkeun. Sabab sarieuneun kanyahoan, saenyana arinyana anu jadi gara-gara sagala jadi dangdarat. Buta-buta nu baruta; ming­kin hareup mingkin bedegong, ngaleuwihan kebo bulé. Arinyana teu nyaraho, jaman manusa dikawasaan ku sato!” ”Pada saat itu datang pemuda berjanggut, datangnya memakai baju serba hitam sambil menyanding sarung tua. Membangunkan semua yang salah arah, mengingatkan pada yang lupa, tapi tidak dianggap. Karena pintar keblinger, maunya menang sendiri. Mereka tidak sadar, langit sudah memerah, asap mengepul dari perapian. Alih-alih dianggap, pemuda berjanggut ditangkap dimasukan ke penjara. Lalu mereka mengacak-ngacak tanah orang lain, beralasan mencari musuh tapi sebenarnya mereka sengaja membuat permusuhan. Waspadalah! sebab mereka nanti akan melarang untuk menceritakan Pajajaran. Sebab takut ketahuan, bahwa me­reka yang jadi gara-gara selama ini. Penguasa yang buta, semakin hari semakin berkuasa melebihi kerbau bule, mereka tidak sadar jaman manusia sudah dikuasai oleh kelakuan hewan.” Sosok ”Pemuda Berjanggut” di atas adalah lambang laki-laki sejati yang sangat kuat prinsip dan akidahnya serta selalu eling dilambangkan dengan baju serba hitam. Dan dia juga seorang yang tekun dan taat beribadah serta kuat dalam memegang ajaran leluhur dilambangkan dengan menyanding sarung tua. Digambarkan bahwa di tengah situasi negeri yang panas membara carut marut dimana manusia dipenuhi nafsu angkara, ”Pemuda Berjanggut” datang mengingatkan yang pada lupa untuk kembali eling. Namun tidak dianggap. Lalu pada alinea menjelang akhir dikatakan ”Jayana buta-buta, hanteu pati lila; tapi, bongan kacarida teuing nyangsara ka somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun. Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan. Iraha mangsana? Engké, mun geus témbong budak angon! Ti dinya loba nu ribut, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara! Nu barodo jaradi gélo marantuan nu garelut, dikokolotan ku budak buncireung! Matakna garelut? Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang loba; nu boga hak marénta bagianana. Ngan nu aréling caricing. Arinyana mah ngalalajoan. Tapi kabarérang.” ”Kekuasaan penguasa buta tidak berlangsung lama, tapi karena sudah kelewatan menyengsarakan rakyat yang sudah berharap agar ada mu’jizat datang untuk mereka. Penguasa itu akan menjadi tumbal, tumbal untuk perbuatannya sendiri. Kapan waktunya? Nanti, saat munculnya Anak Gembala! Di situ akan banyak huru-hara, yang bermula di satu daerah semakin lama semakin besar meluas di seluruh negara. Yang tidak tahu menjadi gila dan ikut-ikutan menyerobot dan bertengkar, dipimpin oleh pemuda gendut! Sebabnya bertengkar? memperebutkan tanah. Yang sudah punya ingin lebih, yang berhak meminta bagiannya. Hanya yang sadar pada diam, mereka hanya menonton tapi tetap terbawa-bawa.” Situasi tersebut di atas adalah gambaran apa yang terjadi sekarang ini. Kalau kita perhatikan dengan cermat alinea ini, maka memang saat ini seluruh rakyat sedang berharap-harap menunggu datangnya mu’jizat di tengah-tengah carut marut yang sedang berlangsung di negeri ini. Lebih-lebih utamanya rakyat korban lumpur Lapindo yang kian hari makin kian sengsara. Bencana datang bertubi-tubi. Huru-hara terjadi di mana-mana. Dan akhir-akhir ini banyak sekali terjadi kasus perebutan tanah. Fenomena paling tragis dalam perebutan tanah pada masa ini 2007 ditandai dengan kasus Pasuruan yang membawa 4 korban tewas rakyat kecil di tangan aparat. Pemuda Gendut merupakan lambang orang yang rakus dan serakah serta memiliki kepentingan pribadi. Dalam bait ini dikatakan bahwa penguasa tersebut akan tumbang pada saat munculnya “Budak Angon”. Dimana kemunculannya ditandai dengan banyak terjadi huru-hara yang bermula di daerah lalu meluas ke seluruh negeri. Dalam mengkaji Wangsit Siliwangi ini kita telah menemui lelakon atau pemeran utama yang dikatakan dengan istilah ”Budak Angon” Anak Gembala dan ”Budak Janggotan” Pemuda Berjanggut. Coba mari kita simak alinea berikut ”Nu garelut laju rareureuh; laju kakara arengeuh; kabéh gé taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabéh béak, béakna ku nu nyarekel gadéan. Buta-buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara. Laju naréangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateup ku handeuleum ditihangan ku hanjuang. Naréanganana budak tumbal. sejana dék marénta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, geus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawéné!” ”Yang bertengkar lalu terdiam dan sadar ternyata mereka memperebutkan pepesan kosong, sebab tanah sudah habis oleh mereka yang punya uang. Para penguasa lalu menyusup, yang bertengkar ketakutan, ketakutan kehilangan negara, lalu mereka mencari Budak Angon, yang rumahnya di ujung sungai yang pintunya setinggi batu, yang rimbun oleh pohon handeuleum dan hanjuang. Semua mencari tumbal, tapi Budak Angon sudah tidak ada, sudah pergi bersama Budak Janggotan, pergi membuka lahan baru di Lebak Cawéné!” Perselisihan yang terjadi adalah sia-sia belaka. Karena selalu saja pihak penguasa membantu yang kuat, berdiri angkuh di atas yang lemah. Ada saat dimana ”wong cilik” sebagai lambang ”si lemah yang tertindas” mencari penuh harap sosok ”Budak Angon dan Budak Janggotan.” Namun yang dicari sulit ditemukan karena telah pergi ke Lebak Cawéné. Dimanakah Lebak Cawéné ? Lebak Cawéné adalah suatu lembah seperti cawan, yang dikatakan di dalam Serat Musarar Joyoboyo sebagai Gunung Perahu. Tempat itu digambarkan sebagai suatu lembah atau bukit dimana permukaannya cekung seperti tertumbuk perahu besar. Dikatakan oleh bapak Budi Marhaen, secara gambaran spiritual, di tempat itu terdapat 2 sumber air besar dan ditandai dengan 3 pohon beringin Ringin Telu. Lebih lanjut dikatakan ”Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul. Daréngékeun! Jaman bakal ganti deui. tapi engké, lamun Gunung Gedé anggeus bitu, disusul ku tujuh gunung. Génjlong deui sajajagat. Urang Sunda disarambat; urang Sunda ngahampura. Hadé deui saka­béhanana. Sanagara sahiji deui. Nusa Jaya, jaya deui; sabab ngadeg ratu adil; ratu adil nu sajati. Tapi ratu saha? Ti mana asalna éta ratu? Engké ogé dia nyaraho. Ayeuna mah, siar ku dia éta budak angon! Jig geura narindak! Tapi, ulah ngalieuk ka tukang!” ”Yang ditemui hanya gagak yang berkoar di dahan mati. Dengarkan! jaman akan berganti lagi, tapi nanti, setelah Gunung Gede meletus, disusul oleh tujuh gunung. Ribut lagi seluruh bumi. Orang sunda dipanggil-panggil, orang sunda memaafkan. Baik lagi semuanya. Negara bersatu kembali. Nusa jaya lagi, sebab berdiri ratu adil, ratu adil yang sejati. Tapi ratu siapa? darimana asalnya sang ratu? Nanti juga kalian akan tahu. Sekarang, carilah Anak Gembala. Segeralah pergi. Tapi ingat, jangan menoleh ke belakang!” Perlambang gagak berkoar di dahan mati bermakna situasi dimana banyak suara-suara tanpa arti. Rakyat menjerit-jerit, penguasa mengumbar janji-janji kosong. Sedangkan negara digambarkan banyak ditimpa bencana. Sekarang ini banyak gunung di nusantara sedang aktif bahkan beberapa gunung telah meletus. Ribut seluruh bumi merupakan lambang keresahan dunia internasional dewasa ini terhadap perubahan iklim dunia dan pemanasan global. Hal ini ditandai dengan banyak bencana yang terjadi di banyak negara. Nampaknya kita sedang memasuki tahapan situasi ini. Mari kita renungkan dan perhatikan dengan apa yang sedang terjadi di seluruh negeri ini. Gunung-gunung telah mulai aktif, banyak terjadi bencana dengan unsur Air, Api, Angin dan Tanah dimana-mana, banyak pula terjadi huru-hara demonstrasi/kerusuhan sebagai lambang ketidakpuasan di berbagai tempat. Apakah ini terjadi secara kebetulan ? Tentu bagi yang memahami, ini semua adalah merupakan skenario langit. Lalu, siapakah ”Budak Angon” itu ? Dari bait tersebut diperlambangkan bahwa budak angon adalah orang sunda atau berdarah sunda. Hal ini akan kita bedah lagi setelah sampai pada kesimpulan setelah kita mengkaji karya-karya leluhur lainnya.>>>sumber

budak angon menurut prabu siliwangi